3 Kain Tenun Unik ala Nusa Tenggara Timur

3 Legenda Kain Tenun ala Nusa Tenggara Timur

Salah satu bentuk kerajinan yang dihasilkan oleh masyarakat Nusa Tenggara Timur adalah kain tenun, Kain Tenun Nusa Tenggara Timur merupakan kerajinan tenun berupa sehelai kain penuh hiasan dekoratif yang indah, dengan desain menarik, komposisi harmonis, dan bentuk-bentuk ragam hiasnya mempunyai karakteristik tersendiri.

Demikian pula dalam proses pembuatannya (baik dalam pengadaan bahan, teknik pembuatan ragam hias, pemakaian warna, cara menenun, dan juga fungsi kain itu dalam kehidupan masyarakat Nusa Tenggara Timur) mengundang decak kagum.

Di balik bentuknya yang indah, terdapat prinsip-prinsip struktural yang sejalan dengan prinsip-prinsip formal yang mengatur segala aspek kehidupan masyarakat NTT dari dahulu hingga sekarang. Sehingga sehelai kain itu tidak hanya berfungsi sebagai alat untuk melindungi tubuh dari pengaruh alam atau untuk memperindah diri saja, akan tetapi merupakan benda budaya yang bersubstansi mengekspresikan nilai-nilai tertentu dan merupakan kekayaan budaya suatu bangsa.

1. Songke

Tenun ikat ini dibuat langsung dengan tangan dan memanfaatkan bantuan alat yang sangat tradisional, sehingga satu kain dapat menghabiskan waktu kurang lebih 6 bulan. Selama tahap pembuatan, kain ini melalui proses pewarnaan secara alami dengan merendam kain menggunakan bunga berwarna, tanaman, atau bumbu dapur, lalu direbus bersamaan, dan didiamkan beberapa saat.

Para pengrajin biasanya mengerjakannya setelah mereka bertani atau selesai mengurus rumah tangga karena kegiatan menenun ini sudah menjadi bagian budaya. Membuat kain tenun ikat sudah menjadi rutinitas yang wajib dikerjakan sehari-hari. Proses pembuatannya dimulai dari pemintalan benang kemudian dilanjutkan dengan proses tenun.

Pada masa tradisional, kain tenun ikat Songke kebanyakan berwarna dasar hitam yang digunakan untuk sarung. Saat ini, warna kain songke sudah mengikuti era perkembangan zaman dengan gaya busana modern. Kain tenun ikat songke modern dari Labuan Bajo ini ada juga yang menggunakan benang dengan pewarna sintetis, bukan dengan pewarna benang yang alami.

Unsur-unsur yang terdapat dalam motif kain songke salah satunya adalah mata manuk. Mata manuk sendiri terdiri atas bibel dan mata manuk.

Motif bibel berbentuk trapesium yang terletak di luar mata manuk. Sedangkan aata manuk berbentuk bundar telur dan terdiri dari empat titik yang menggambarkan ayam yang mampu melihat ke empat penjuru mata angin.

Warna motif mata manuk dapat dikombinasikan dengan warna putih, hitam, dan merah. Motif lobak juga merupakan salah satu motif kain songke khas Manggarai Barat ini. Motif ini dapat dikenali dengan adanya gambar sebuah garis yang tidak terputus.

Garis ini menandakan adanya satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Misalnya dalam kehidupan sehari-hari, saat ada ayam berkokok, pasti akan ada ayam-ayam lainnya yang akan turut menyahut dan ikut berkokok. Tidak terlalu berbeda dengan warna pada motif mata manuk, warna-warna yang biasanya digunakan pada motif lobak kain songke juga merupakan kombinasi antara warna merah, putih, serta hitam.

Memberi warna pada motif lobak sangat tergantung dari warna dasar kain lipa. Selain kedua motif di atas, terdapat satu lagi motif yang ada pada kain songke, yaitu motif jok. Ciri khas dari motif jok adalah garis melingkar yang terdapat pada ujung atas dan bawah kain songke yang bentuknya bergelombang mirip dengan gelombang laut.

Motif yang menyerupai arus laut ini memiliki makna geografis daerah asalnya. Wilayah kabupaten Manggarai Barat memang terkenal dengan potensi laut yang cukup luas dengan gelombang lautnya.

2. Tenun Sumba

Kain tradisional Sumba dibuat dari benang-benang kapas yang ditenun oleh tangan para gadis dan ibu-ibu di sana. Melalui tahapan pengerjaan yang sabar dan penuh cinta, helai demi helai benang itu seolah diberi ruh hingga menjadi kain tenun cantik yang sangat indah dan sarat akan makna dibalik masing-masing motifnya tersendiri.

Pada awalnya, pembuatan kain tenun ini menggunakan kapas yang digulung sehingga menjadi benang berbentuk bulatan baru dibidang sesuai dengan ukuran kain yang kita inginkan. Kemudian, setelah dibidangkan, dapat terlihat warna asli kain yang mula-mula berwarna putih.

Setelah itu, baru pengrajin dapat memulai untuk mengikat motifnya. Lalu proses pewarnaan biru dengan menggunakan pewarna yang berasal dari campuran daun nila dengan kapur sirih sehingga mengeluarkan warna biru. Tetapi jika menginginkan warna merah alami, pengrajin biasanya akan memanfaatkan komposisi warna dari akar pohon mengkudu yang ditumbuk halus dan dicampur dengan kemiri serta kulit kayu.

Dengan beberapa bahan dasar dari tumbuh-tumbuhan tersebut, warna merah dan birunya jika dicampurkan akan menghasilkan warna hitam. Jika ingin tersedia warna sintetis sebagai warna pembanding, warna sintesis akan terlihat lebih menyolok dibandingkan dengan pewarna alami. Setelah melalui berbagai tahapan itu, benang-benang yang semula tanpa arti, berubah menjadi kain tenun indah.

Proses pembuatan tenun sumba dari kapas hingga bisa dipakai atau dijual memakan waktu selama 6 bulan. Dan dengan motif berbagai macam.

Tentunya kain-kain tenun Sumba juga memiliki warna dan motif beragam yang menjadi karakteristik tersendiri. Masing-masing motif juga mengandung makna filosofis yang berbeda-beda. Motif kuda misalnya, menggambarkan kepahlawanan, keagungan, dan kebangsawanan.

Hal ini disebabkan oleh kebiasaan masyarakat Sumba yang menganggap kuda sebagai simbol harga diri. Sedangkan motif buaya atau naga digunakan untuk menggambarkan kekuatan dan kekuasaan raja. Ada pula motif ayam yang melambangkan kehidupan perempuan.

Untuk melambangkan persatuan, motif yang digunakan pada kain adalah motif burung yang umumnya burung kakatua. Selain itu, khusus pada kain-kain yang kuno, lebih sering dijumpai motif mahang atau singa, rusa, udang, kura-kura, dan jenis hewan lain.

3. Hinggi dan Lawu Pahikkungu

Sumba Timur memiliki dua macam kain tenun ikat, yakni Hinggi (kain tenun ikat untuk pria) dan Lawu Pahikkungu atau Lawu Pahudu (sarung songket untuk wanita). Selain merupakan kebutuhan sandang sehari-hari, kedua jenis tekstil ini memegang peranan penting dalam kehidupan sosial budaya masyarakat Sumba Timur.

Dalam adat-istiadat, hinggi dan lau berfungsi sebagai media tukar menukar, baik dalam upacara perkawinan, penguburan, tanda penghargaan, atau sekadar cenderamata. Hinggi juga dipergunakan untuk membungkus jenazah. Selain secara fisik lapisan hinggi itu bisa menahan bau mayat, secara spiritual sesuai dengan kepercayaan Marapu (agama asli orang Sumba) hinggi dengan kualitas tinggi yang dipakai untuk membungkus jenazah bermakna sebagai bekal pakaian di alam baka.

Comments

Leave a Reply